Upacara Tradisional Sumatera Barat ‘Tabuik’ di Pariaman
- Pendahuluan
Muharam
merupakan bulan yang memiliki keistimewaan sendiri bagi kaum muslim di seluruh
penjuru duniah termasuk Indonesia. Muslimin menyambut bulan muharam ini dengan
bermacam – macam cara dan bermacam – macam perasaan.
Mungkin yang
selama ini kita tahu muharam merupakan awal bulan hijriyah. Mungkin yang kita
tahu seluruh muslimin di dunia menyambut bulan ini dengan kegembiraan. Ternyata
tidak seluruh kaum muslimin menyambut bulan yang istimewa ini dengan
kegembiraan. Salah satu dari kaum muslimin yang merasakan hal berbeda adalah
dari saudara kita, kaum syi’ah.
Kaum syi’ah
menyambut bulan ini dengan penuh kesedihan. Hal tersebut karena pada bulan
Muharamlah terjadinya pembantaian Imam mereka. Imam mereka tidak lain adalah
Husein bin Ali yaitu cucu Rasulullah saw.
Begitu pula
di Indonesia , masyarakat muslim di Indonesia menyambut bulan Muharam dengan
berbagai cara.
- Seluk Beluk Tradisi ‘Tabuik’
Dari
berbagai tradisi di Indonesia untuk menyambut bulan Muharam yang sangat unik
ialah tradisi ‘tabuik’. Perayaan ‘tabuik’ merupakan perayaan yang sangat
berbeda bila dibandingkan dengan perayaan lainnya yang ada di Indonesia.
Perayaan ‘tabuik’ merupakan budaya yang berasal dari daerah barat pulau
Sumatera, yaitu daerah Minangkabau.
Untuk asal – muasal perayaan ‘tabuik’ diyakini tradisi
ini dibawa oleh sekolompok suatu bangsa yang ada di Timur Tengah. Kelompok ini
menganut aliran syi’ah Jafari. Dan diselidiki kelompok ini merupakan bangsa
Cipei yang ada di sekitar dataran India. Mereka adalah serdadu Inggris, yaitu
pasukan Islam Thamil, yang datang ke Bengkulu. Saat itu Bengkulu sedang diambil
alih oleh Inggris dari tangan Belanda. Setiap tahunnya pada bulan Muharam orang
– orang Cipei ini memperingati tragedi peristiwa Karbala dengan cara mereka.
Lama –
kelamaan peringatan ini diikuti oleh masyarakat Bengkulu. Dengan berjalanya
waktu peringatan ini meluas hingga sampai di Padang, Painan, Maninjau, Banda
Aceh, Mealuboh, dan Pariaman. Dalam perkembangannya, peringatan tersebut hilang
satu – persatu dari daerah – daerah tersebut. Akhirnya peringatan tersebut
tinggallah di Pariaman saja. Di Pariaman peringatan tersebut bernama ‘tabuit’
yang sudah berbeda dengan peringatan yang dibawa oleh bangsa Cipei.
Istilah
‘tabuik’ sebenarnya bukan kata yang berasal dari Minang. Kata ‘tabuik’
merupakan serapan dari bahasa Arab. Asal mula kata ‘tabuik’ adalah tabut. Tabut
sendiri memiliki arti kotak atau peti kayu
- Waktu dan Tempat Pelaksanaan ‘Tabuik’
Perayaan
‘tabuik’ ini hanya dilaksanakan di Kota Pariaman yang berada di pesisir pantai
Sumatera Barat. Perayaaan ini diselanggarakan dari pusat Kota Pariaman hingga
Pantai Gandoriah.
Perayaan
‘tabuik’ digelar hanya pada bulan Muharam saja. Perayaan ini berlangsung selama
10 hari lamanya. Dimulai dari pagi 1 Muharam hingga malam 10 Muharam dengan
rentetan acara yang sudah menjadi tradisi ‘anak nagari’.
Perayaan
‘tabuik’ ini diikuti oleh hampir seluruh lapisan masyarakat pariaman.
- Susunan Acara pada ‘Tabuik’
Dari sepuluh
hari itu, di setiap harinya terdapat acara yang sangat sakral. Dimulai dari
pembuatan ‘tabuik’ yang berbentuk seperti keranda dan bouraq hingga proses
pelepasan ‘tabuik’ ke pantai.
Dalam
perayaan ‘tabuik’ terbagi menjadi dua perayaan yaitu ‘tabuik’ pasa (balai) dan
‘tabuik’ subarang. Pasa (balai) ialah daerah utama di Pariaman, yang dimana
menjadi pusat kota. Subarang merupakan daerah Pariaman yang berada di samping
Pasa (balai). Kedua bagian kota ini terpisah oleh sungai yang membelah Pariaman.
Berikut pembagian urutan acara perayaan ‘tabuik’ menurut ayahanda saya,
Ir. Soldi, yang sudah berpuluh – puluh tahun mengikuti tradisi
‘tabuik’ ini:
1.Upacara
‘Mambue Daraga’
‘Daraga’
adalah sebuah rumah yang dibuat khusus untuk mempersiapkan ‘tabuik’. Rumah ini
terbuat dari bahan – bahan yang tradisional seperti bambu dan tambang. Biasanya
‘daraga’ dibuat tiga hari sebelum memasuki bulan muharam. Masyarakat Pariaman
membuat dua ‘daraga’, yaitu ‘daraga’ pasa (balai) dan ‘daraga’ subarang.
‘Daraga’
akan terlihat seperti benteng yang berbentuk segi empat. Ukuran ‘daraga’ lima
kali lima meter. ‘Daraga’ akan dikelilingi oleh kain putih.
2.Upacara
‘Maambiak Tanah’
Prosesi ini
biasanya dilaksanakan oleh seorang laki – laki yang berasal dari keluarga
pengurus ‘tabuik’. Sang pengambil tanah ini memakai kain putih. Kain putih ini
berarti kejujuran dari kepemimpinan Husein. Prosesi ini dilakukan pada sore
hari tanggal 1 Muharam.
Dalam
prosesi ini terbagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok ‘tabuik’ Pasa (balai)
dan kelompok ‘tabuik’ Subarang. Prosesi ini akan diiringi aloh arak – arakan
yang ditemani dengan dentuman gandang tasa.
Prosesi ini
dilakukan dengan mengambil segumpal tanah dari dasar sungai. Pengambilan
tanahnya harus di anak sungai yang berbeda dan berlawan arah antara kelompok
Pasa (balai) dan kelompok Subarang. Pangambilan tanah ini bukanlah hanya
mengambil tanah saja. Tetapi ini merupakan simbol dari pengambilan jasad Hasan
– Husein yang mati syahid.
Tanah yang
telah diambil tersebut lalu dibungkus dengan kain putih yang bersih. Hal
tersebut seolah – seolah seperti mengafani jasad dari Hasan – Husein.
Selanjutnya
tanah tersebut diletakkan dalam sebuah periuk yang indah. Periuk yang telah
berisikan tanah tadi dibungkus kembali dengan kain putih yang bersih. Setelah
itu disimpan di ‘daraga’.
3.Upacara
‘Manabang Batang Pisang’
Prosesi ini
dilakukan pada tanggal 5 Muharam. Pada tengah malam orang – orang kampung akan
pergi ke hutan beramai- ramai. Mereka akan mencari pohon pisang, yang kemudian
ditebas.
Dalam
prosesi ini batang pohon pisang harus terpotong dalam satu tebasan. Yang
menebas batang pisang haruslah laki – laki yang menggunakan semacam baju silat.
Untuk menebasnya, biasanya penebas menggunakan pedang yang sudah diasah agar
tajam setajam – tajamnya.
Kemudian
batang pisang tersebut dibawa ke ‘deraga’. Sesampainya di ‘deraga’ ditanamkan
dekat dengan pusara.
Prosesi ini
melambangkan apa yang dilakukan oleh musuh – musuh Allah terhadap Hasan –
Husein.
4.Upacara
‘Maatam Panja’
Prosesi ini
dilakukan pada tanggal 7 Muharam oleh penghuni ‘daraga’. ‘Maatam panja’ ini
dilakukan setelah shalat Dzuhur.
Prosesi ini
dilakukan dengan cara mengitari ‘daraga’ sambil membawa peralatan untuk
‘tabuik’ seperti panja (jari), pedang, dan sorban. Mereka mengelilingi ‘daraga’
sambil menangis terisak – isak.
Prosesi ini
merupakan tanda kesedihan mereka yang mendalam atas syahidnya Hasan – Husein.
5.Upacara
‘Maarak Panja’
Prosesi ini
dilakukan pada tanggal 7 Muharam, hari yang sama dengan upacara ‘maatam panja’.
Panja merupakan
sebuah kubah yang terbuat dari kertas kaca dan bingkai bambu. Kertas ini di
gambari dengan tangan dengan jari – jari yang putus. Di dalam panja diberikan
lilin.
Panja akan
diarak keliling kampung. Kelompok ini akan memperlihatkan kepada seluruh masyarakat
bagaimana kesedihan mereka. Dan ini meruapakan perlambangan bahwa jari – jari
Hasan – Husein telah dipotong oleh musuh. Mereka akan menceritakan bagaiman
kezaliman sang penguasa, Yazid bin Muawiyah, terhadap Hasan – Husein.
Mereka
keliling kampung dengan diiringi oleh gandang tasa dan ‘tabuik lenong’. ‘Tabuik
lenong’ adalah sebuah miniatur ‘tabuik’ yang diletakkan diatas kepala seorang
pria.
6.Upacara
‘Maarak Sorban’
Prosesi ini
dilakukan pada keesokan harinya, yaitu tanggal 8 Muharam. Prosesi ini tidak
jauh beda dengan prosesi yang sebelumnya, ‘maarak panja’.
Rombongan
akan keliling kampung. Memperlihatkan bagaimana kejamnya perlakuan penguasa
saat itu, Yazid bin Muawiyah, kepada cucu nabinya sendiri, Hasan – Husein.
Diiringi dengan tabuhan gandang tasa dan diikuti oleh pria yang mengenakan
‘tabuik lenong’.
Prosesi ini
melambangkan bahwa kepala dari Hasan – Husein telah dipenggal bak hewan.
7.Upacara
‘Tabuik Naik Pangke’
Prosesi ini
berada di hari utama yaitu tanggal 10 Muharam. ‘Tabuik naik pangke’
dilaksanakan pada pagi hari.
Pada pagi
hari ‘tabuik’ dari kedua wilayah, Pasa (balai) dan Subarang, akan dikeluarkan
dari rumahnya.
Kedua
‘tabuik’ itu akan diarak hingga bertemu. Setelah bertemu tabuik pun akan
dipasangkan menjadi satu kesatuan ‘tabuik’ yang utuh.
8.Upacara
‘Hoyak Tabuik’
Prosesi ini
merupakan yang paling meriah. ‘Tabuik’ diarak oleh rombongan ke Pantai
Gandoriah untuk dihanyutkan. Sudah menjadi kepercayaan sisa – sisa dari
‘tabuik’ dapat menjadi jimat agar larisnya dagangan. Oleh sebab itu, ‘tabuik’
langsung diserbu oleh warga.
- Kesimpulan
Menurut saya
kebudayaan ‘tabuik’ ini merupakan sebuah kebudayaan yang sangat menarik untuk
dipelajari/digali lebih dalam lagi. ‘Tabuik’ juga merupakan suatu budaya Minang
yang sangat eksotis bila anda dapat merasakannya sendiri. Sangat jarang budaya
Indonesia yang terangkat dari kebudayaan kaum syi’ah.
Seiring
berjalannya waktu saat ini, kebudayaan Indonesia mulai menghilang satu persatu.
Seharusnya kita sadar betapa pentingnya budaya. Sekarang kita boleh bangga
dengan budaya kita, tetapi bila kita tidak jaga, maka akan bernasib sama dengan
pulau sipadan dan lain – lainnya. Jadi, dari sekarang kita harus menjaga
kebudayaan bangsa kita.
Daftar
Bacaan
http://www.west-sumatra.com/index.php?option=com_content&task=view&id=71&Itemid=1.
Jum’at, 29 Oktober 2010.
http://uun-halimah.blogspot.com/2008/03/tabuik-pariaman-provinsi-sumatera-barat.html.
Jum’at, 29 Oktober 2010.
Syiah bukan bagian dari islam..syiah adalah kaki tangan yahudi untuk menghancurkan islam..
BalasHapusNegeri syiah iran yg dulunya negri persia merupakan negri yg agamanya majusi/zoroaster..pemuka syiah abdullah bin saba' adalah seorang yahudi yg menyusup kedalam islam kemudian merubah & menghancurkan ajaran ajaran islam..
BalasHapus