Penyadapan
Yang Terjadi Di Indonesia oleh Australia
Terungkapnya
aktivitas penyadapan telepon Presiden SBY dan pejabat Indonesia lainnya oleh
badan intelijen Australia DSD (kini berubah menjadi Australian Signal
Directorate) memicu reaksi luas di kalangan politikus Australia sendiri.
Seorang mantan diplomat Australia bahkan memperkirakan Jakarta akan menarik
duta besarnya dari Canberra dan mengusir dubes Australia dari Jakarta.
Daftar nama
pejabat Indonesia yang disadap Australia, tahun 2009. (Credit: ABC)
Dalam sidang
di parlemen Senin (18/11/2013) siang, anggota parlemen dari Partai Hijau Adam
Bandt bertanya kepada Perdana Menteri Tony Abbott, "Apakah benar Australia
menyadap telepon Presiden Indonesia, apakah masih berlangsung, dan apakah Anda
mendukung hal itu".
PM Abbott
menjawab secara diplomatis, dengan mengatakan, "Semua pemerintah melakukan
pengumpulan informasi. Saya tidak akan berkomentar tentang masalah intelijen.
Saya tidak ingin merusak hubungan dengan Indonesia".
Sementara
itu, Senator John Faulkner yang merupakan Menteri Pertahanan ketika aktivitas
penyadapan terjadi di tahun 2009, menolak berkomentar ketika dicecar wartawan
di gedung parlemen Australia di Canberra.
"Saya
harus melihat laporannya terlebih dahulu. Saya tidak akan berkomentar atas
laporan yang saya belum lihat," katanya.
Pemimpin
Partai Hijau, Senator Christine Milne menyatakan, penyadapan ini akan mempermalukan
Indonesia, yang kini tahu bahwa ketika Tony Abbott berbicara tentang
persabahatan dengan Indonesia, ternyata Australia melakukan hal yang
sebalilknya.
"Masalahnya
di sini, apa dasarnya menyadap telepon presiden Indonesia dan isterinya? Apakah
menyangkut keamanan nasional? Apakah kita ingin mengatakan, presiden tetangga
terdekat kita itu merupakan ancaman bagi Australia?" tegas Senator Milne.
Mantan
diplomat Bruce Haigh mengatakan, terungkapnya kasus ini jelas-jelas akan
menampar muka dan mempermalukan Indonesia.
"Banyak hal bisa terjadi. Mereka mungkin akan menarik duta besarnya.
Mereka mungkin mengusir duta besar kita dari Indonesia," katanya.
Namun ia memperkirakan hubungan kedua negara cukup kuat dan akan mampu melewati
masalah yang ditimbulkan oleh terungkapnya kasus ini.
eneliti
asal Australia, Dave Mc Rae, menganggap negaranya akan sulit untuk meminta maaf
kepada Indonesia terkait masalah penyadapan. Begitu pula dengan permintaan
penjelasan secara terbuka yang mampu dipahami publik Indonesia dan
internasional. Alasannya, Negara Kanguru itu memiliki komitmen hukum pemerintah
yang tidak boleh mengambil kebijakan dalam intelejen.
Soal
Penyadapan, Australia Tak Akan Minta Maaf
"Pemerintah Australia tidak boleh ikut campur urusan intelejen dan meminta
maaf karena sudah memasuki daerah terlarang," kata Dave, yang merupakan
peneliti Lowy Institute, Sydney dalam acara diskusi hubungan
Indonesia-Australia pasca penyadapan di Universitas Indonesia, Senin, 26 November
2013.
Meski begitu, Dave menyatakan di Australia belum ada gerakan-gerakan
demonstrasi masyarakat seperti yang terjadi di Indonesia. Namun, pada kalangan
tertentu, ada yang menolak dan mendukung pernyataan Perdana Menteri Australia
Tonny Abbot yang menolak meminta maaf. "Sebagian orang mengatakan
Indonesia menekan Australia dengan meminta penjelasan dan maaf sehingga mereka
meminta Australia harus tegas juga."
Selain itu, Abbot juga telah tegas mengatakan tidak akan menanggapi penyadapan
itu. Langkah itu dinilai sebagai keputusan yang buntu di masa depan karena
Abbot akan susah menarik pernyataannya. "Perdana menteri tidak mengambil
kesempatan itu untuk memberikan penjelasan," katanya.
Kebuntuan semakin menjadi ketika Menteri Pertahanan Australia tidak jadi
bertandang ke Indonesia. "Padahal, sebaiknya Menteri Pertahanan datang
secara langsung. Namun, bukan itu yang dilakukan. Ini seperti tak menggunakan
kesempatan," ujar Dave.
Meski begitu, Dave mengaku pesimistis ke depan Indonesia-Australia bisa menjalin
kerja sama yang lebih konket. Alasan Dave sederhana, yakni bahwa ketegangan
antara dua negara bukan kali pertama terjadi. Seperti yang diberitakan
Tempo, pada 2006 Indonesia-Australia pernah bersih tegang sampai duta
besarnya ditarik.
Saat itu penyebabnya adalah Australia memberikan suaka kepada warga Papua.
Namun, ketegangan itu mengendur dan harmonis kembali. "Sekarang kerja sama
dihentikan sampai saling hujat. Tapi saya optimistis satu saat nanti kerja sama
yang baik akan kembali terjalin," katanya.
Dave mengatakan kedua negara memiliki kepentingan bersama, tetapi masih
abstrak. Salah satunya kerja sama keamanan negara dan bisa juga meluas ke
sektor perekonomian. Bagi Australia, kerja sama dengan Indonesia penting untuk
menangani masalah terorisme dan penyelundupan. Namun, banyak perdebatan yang
menyatakan Indonesia tak membutuhkan Australia. "Walaupun ada yang
mengatakan juga sama-sama penting," katanya.
Penyadapan
Indonesia di Mata Media Asing
Ketegangan
Indonesia dan Australia terkait isu penyadapan menjadi perhatian media
internasional. Beberapa dari media menyoroti perkembangan terakhir dari masalah
ini, termasuk penghinaan terhadap Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Sejak terkuaknya penyadapan yang dilakukan oleh intelijen Australia terhadap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono serta beberapa
tokoh lainnya, hubungan antara kedua berada di titik terendahnya. Sikap keras Perdana Menteri Tony Abbott yang enggan
meminta maaf, dibalas oleh SBY dengan menghentikan kerja sama militer dan
penanganan imigran gelap.
Beberapa media asing mengikuti perkembangan dari masalah ini. Publikasi seperti
Time, The New York Times turut memberikan tajuk mereka
masing-masing, antara lain:
Time
Majalah ternama ini melakukan pendekatan tidak lazim dibandingkan media
lainnya. Time melihat hubungan Indonesia dana Australia saat ini sangat
janggal. Time memperhatikan komentar penasihat Partai Liberl Mark
Textor yang menyebut sosok Menlu Marty Natalagewa seperti bintang porno
Filipina era 70-an.
"Textor belum mengklarifikasi apa yang membuatnya berpikir bahwa (Menlu)
Natalegawa tampak seperti bintang porno Filipina. Dia juga tidak menjelaskan,
apakah etika bintang porno lebih baik atau lebih buruk dari seorang
politisi," tulis Time, seperti dikutip Guardian, Jumat
(22/11/2013).
The New York Times
The New York Times menulis headline dengan judul, "NSA spying
scandal tarnishes relations between Indonesia and Australia" atau dalam
bahasa Indonesia "Skandal mata-mata NSA rusak hubungan Indonesia dan
Australia". Times -sebutan the New York Times-
menyebutkan, hubungan antara kedua berada pada titik terendah meskipun ini
bukanlah yang pertama kalinya terjadi.
Namun the Times bingung dengan Amerika Serikat (AS) yang sepertinya
tidak terpengaruh, mengingat isu penyadapan itu bocor dari dokumen yang diumbar
oleh mantan pegawai intelijen AS Edward Snowden.
"Tidak diragukan lagi Australia menjadi target kemarahan dari Indonesia.
Tetapi Menlu Marty Natalegawa mengabaikan peran Amerika Serikat, dengan tidak
menyebutkan status dari Dubes RI untuk AS. Ini bukanlah hari yang baik bagi
hubungan Indonesia-Australia," jelas the New York Times.
The Independent
Surat kabar Inggris ini tidak mendukung cara PM Tony Abbott dalam mengatasi
permasalahan hubungannya dengan Indonesia. The Independent sebelumnya
menyoroti sikap Abbott yang membuat kebijakan para imigran ilegal menyangkut
Indonesia, tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu.
"Abbott bahkan bukan sebagai pemimpin oposisi pada 2009, ketika dugaan
penyadapan itu terjadi. Tetapi caranya mengatasi masalah pada hubungan
diplomatiknya telah menunjukkan bentuk kebijakan luar negerinya, dengan
menghasilkan masalah demi masalah di percaturan dunia," tulis the
Independent.
The Diplomat
Publikasi yang lebih fokus di Asia Pasifik ini melontarkan spekulasi apakah
Indonesia akan membatalkan traktat pertahanan yang disepakati dengan Australia.
Traktat Lombok mengatur kerja sama termasuk imigran gelap, narkoba, dan senjata
termasuk juga kerja sama intelijen dan pertahanan.
"Tidak ada yang yakin apakah tuduhan penyadapan yang dilakukan Australia
adalah pelanggaran atas traktat itu. Mungkin saja Indonesia kembali membatalkan
kerja sama keamanannya dengan Australia, yang tentunya akan memberikan dampak
besar dalam keamanan Asia Pasifik," sebut the Diplomat.